Tema: Percintaan (asmara)
Perkembangan :
Tari Bedhaya mengalami masa kejayaan pada abad ke 18 pada masa kekuasaan PB II,
PB III, PB IV, dan PB VIII Artinya pada masa-masa itulah banyak diciptakan
tarian Bedhaya (G.R. Ay. Koes Indriyah dalam David t.t.: 59-60). Dari sekian
banyak gendhing Bedhaya hanya tinggal Gendhing yang masih dapat diketahui
tarian diantaranya Bedhoyo Durudasih, Bedhaya Pangkur, Bedhaya Tejanata.
Bedhaya Endhol-endhol, Bedhaya Sukaharja, Bedhaya Kaduk Manis, Bedhaya Sinom,
Bedhayo Kabor, Bedhaya Gambir Sawit dan Bedhaya Ketawang.
Banyak tari Bedhaya yang hilang atau tidak tergali, disebabkan adanya larangan
dari pihak kraton Surakarta bahwa tari dan karawitan milik kraton tidak
diperbolehkan untuk dipelajari secara privat atau ditulis (didiskripsikan).
Bila menginginkan belajar harus di dalam kraton, di samping itu ada peraturan
yang membatasi bahwa yang boleh belajar tari hanyalah wanita yang belum
menikah. Dengan demikian dapat dimaklumi jika jarang penari dapat mendalami
tarian dengan sungguh-sungguh (G.R. Ay. Moertiyah, Wawancara: September 1997).
Diantara 11 bentuk tari Bedhaya yang dianggap paling tua adalah Bedhaya
Ketawang. Tari Bedhaya Ketawang sampai sekarang disakralkan bagi pihak kraton
Surakarta, disajikan hanya untuk rangkaian upacara Jumenengan Tinggalan Dalem
di kraton. Bagi kraton Surakarta tari Bedhaya Ketawang merupakan salah satu
pusaka, sehingga jika disajikan sebagai pertunjukan diberlakukan
ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Namun demikian tidak berarti semua
tari Bedhaya bersifat sakral dan tertutup bagi masyarakat umum, maka
diciptakanlah tari-tari Bedhaya lain yang sifatnya hanya untuk sesuka atau
untuk kepuasan batin, untuk hiburan raja, yang mana cakepan sindenannya
kebanyakan menggambarkan kehidupan raja semata (G.R. Ay. Moertiyah, Wamancara:
September 1997). Menurut Gusti Puger bahwa tari di samping sebagai hiburan juga
sebagai ungkapan rasa syukur menyambut kelahiran seorang anak dan juga bisa
digunakan untuk penyambutan tamu.
Keberadaan
tari-tari di lingkungan kraton pengelolaannya dilakukan oleh beberapa kelompok
abdi dalem putri yang dibawahi oleh Pengageng Parentah Keputren, diantaranya
adalah kelompok abdi dalem Bedhaya. Kelompok abdi dalem Bedhaya memiliki tugas
pokok sebagai penari Bedhaya, di sampik menari juga membantu segala pekerjaan
yang ada di keputren termasuk menjaga keamanan, untuk itu kelompok abdi dalem
Bedhaya juga dilatih beta diri.
Sekitar tahun
1970-an, pada masa PB XII, Kanjeng Susuhunan Pakubuwana mengijinkan tari
Bedhaya dipelajari oleh masyarakat di luar kraton, yang memanfaatkan kesempatan
pertama kali Ketika itu adalah ASKI/PKJT sebagai salah satu lembaga pendidikan
dan lembaga budaya yang berkedudukan di Sasana Mulyo Baluwarti. Mulai saat
itulah penari niyaga dan pengeprak kraton diperbolehkan berbaur latihan dengan
penari niyaga dan pengeprak dari luar kraton. Akhirnya hingga sekarang tari
Bedhaya dapat dipelajari dan disajikan di luar tembok kraton. (G.R. Ay.
Moertiyah, Wawancara: Oktober 1997).
Gerak
Tari : sembilan orang penari dengan menggunakan tata
busana dan rias wajah serta tata rambut yang sama. Masing-masing penari
membawakan peran dengan nama yang berbeda-beda, yaitu: Batak, Gulu, Dhadha,
Endhel Weton, Endhel Ajeg, Apit Meneng, Apit Wingking, Apit Ngajeng, Bancit. Ki
Hajar Dewantara menyatakan bahwa yang dinamakan Bedhaya yaitu rakitan penari
sembilan orang yang diatur secara rytmische figures dan standen, masing-masing penari
memiliki rol sendiri-sendiri, yaitu endel, gulu, dada, batak, buntil, dan empat
orang pengapit. Tari Bedhaya memiliki rhytme berbeda sekali yaitu lebih halus
dan tenteram dalam gerakannya.
0 komentar:
Posting Komentar